Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu. Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.
“Suhu.”
“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”
“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkah sebelah kaki teecu, aken tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung!
Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!
“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”
Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.
“Koko…., ada apakah….? Siapakah orang-orang buruk ini?”
“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah….”
“Kakimu dipotong….? Tidak….! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi…. pergi….!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringes dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.
“Moi-moi, ke sini….! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.
“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengen sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.
Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”
“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”
“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya. Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya. “Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu…. hemmm, kau anak Mancu, ya?”
Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.
“Bukan, suhu…. bukan….!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.
Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”
“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.
“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.
Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah.
“Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini….” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.
“Suhu, jangan….!”
Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk.
“Hemmm…., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau….” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya. Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.
“Han-ko…. syukur kakimu masih utuh….” Anak ini terisak.
“Diamlah Lulu. Jangan menangis…”
“Aku…. aku…. takut, Koko.”
“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”
“Tapi…. mereka jahat sekali….”
“Hushhh, diamlah….”
Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.
“Murid murtad….! Murid durhaka….!”
Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.
“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”
“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”
“Suhu….!”
“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”
Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.
“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”
“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”
Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.
“Suhu….! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu….! Dia….! Dia sakit!”
Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan…. tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.
Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.
“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”
Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya.
“Kita ini…. dibawa ke mana, Koko?”
“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.”
“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.
“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”
“Koko….!” Lulu menangis.
“Eh, malah menangis. Ada apa?”
“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.
“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”
“Han-ko….!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.
Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget.
"Perahu di sebelah depan!"
Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam.
Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melinduhgi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.
"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"
Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar. Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya sikap mereka gagah.
Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.
"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (PerkumpuJan Naga Hitam)!"
"Sikap saja, habiskah mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah orang segolongan…." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.
Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan, menjadi pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"
“Tidak…. tidak takut… hanya…”
"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.”
Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggeJam tentu akan mati di perut ikan!
Sementara itu, tiga beJas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia empat puJuh tahun dan berjenggot panjang, segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.
"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."
"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" Suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.
Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."
"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.
Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata.
"Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."
"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."
Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.
"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapapun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."
"He-hemmm…." Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada orang-orangHek-liong-pang ini, dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata.
"Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian, sekarang juga karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"
Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.
"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"
Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."
Tiga belas orang anak buahHek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Adapun dia itu adalah Ouw Kian yang terkehal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."
Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacad yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.
"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"
"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.
Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biarpun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.
"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biarpun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.
Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"
Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san. Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih.
"Mukanya…. jangan-jangan dia…. Ma-bin Lo-mo….”
Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."
Tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.
"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."
"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.
"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.
"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, berteriak nyaring.
"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.
Tentu saja tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.
"Sungguh mentakjubkan! Si murid lebih bijaksana daripada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang mentaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"
"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.