Han Han terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia sudah mengambil keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya yang terbakar, di mana terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat wajah tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si Brewok dan Si Muka Kuning. Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya! Ia menundukkan mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya, mendadak ada rasa aneh sekali di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu terbanting pada dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini berdenyutan keras, seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya menjadi pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk.
“Teecu tidak dapat menceritakan itu….”
Tiba-tiba Sin Lian mencela dengan suara keras dan nyaring, “Sute (Adik Seperguruan)! Engkau ini murid macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan pertama kau telah tidak mentaati perintah guru!”
Han Han makin marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan yang lebih muda daripadanya akan tetapi telah menjadi kakak seperguruannya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata aneh, seperti orang terpesona, terbelalak keheranan.
Dengan hati marah Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki.
“Kau bocah cerewet! Kau seperti seekor monyet yang menari-nari!”
Mendadak terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan menggerakkan kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik, “Aku seekor monyet…. menari-nari….! Aku seekor monyet yang menari-nari….!” Dan ia menari-nari dengan gerakan lucu, seolah-olah ia meniru gerakan monyet!
Lauw-pangcu tadinya mengira bahwa Sin Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak memperolok-olok dan mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak puterinya yang manja itu, “Sin Lian! Hentikan itu!”
Akan tetapi, puterinya yang biarpun manja namun selalu mentaati perintahnya itu, masih saja berjoget, secara aneh dan lucu sambil terus berbisik, “Aku seekor monyet menari-nari…. seekor monyet menari-nari….”
Terkejutlah Lauw-pangcu! Ia menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini menyinarkan cahaya yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti mengeluarkan api, demikian tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak mampu menggerakkan bola mata, membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu, seperti melekat, seperti tertarik besi sembrani! Ia mengerahkan sin-kang, berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han Han, padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh wibawa, penuh pengaruh luar biasa.
“Suhu sudah tua, tidak perlu merisaukan suci yang nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur daripada menjengkelkan kelakuan suci….”
Terjadi keanehan ke dua. Kakek itu menguap dan mulutnya berkata lirih, “Auhhh, aku sudah tua…. ingin mengaso dan tidur….” Lalu kakek itu pun merebahkan kepala di atas meja, berbantal lengan dan tidur!
Han Han melongo saking herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus menari-nari sambil berbisik-bisik, “Aku seekor monyet yang menari-nari…. seekor monyet….” Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih tidur nyenyak! Melihat ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso dan tidur daripada mempedulikan Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih terus menari-nari seperti telah menjadi gila! Dari bingung, Han Han menjadi ketakutan dan diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak.
“Suhu….!Suhu…. Bangunlah, suhu….!” Lauw-pangcu serentak bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya. “Apa…. apa yang terjadi….?” tanyanya seperti orang habis bangun dari mimpi, padahal ia tertidur belum ada dua menit! Ketika ia menoleh ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai pengalaman yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun, ia sudah dapat menguasai perasaannya, cepat ia melompat mendekati Sin Lian yang masih menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal itu, menangkap pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian mengeluarkan suara merintih perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan ayahnya.
“Dia…. dia kenapakah, Suhu? Suci mengapa tadi….?” tanya Han Han, khawatir juga menyaksikan semua itu karena kini ia dapat menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan menari-nari untuk mengejeknya.
Kakek itu hanya menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur.” Kemudian ia mengajak Han Han keluar.
“Han Han, mari kita bicara di luar.”
Dengan hati tidak enak Han Han mengikuti gurunya keluar kamar dan duduk di ruang depan pondok kecil itu. Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah muridnya dengan pandang mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han dan ia menunduk.
“Han Han, pandanglah mataku!” perintah kakek itu.
Han Han mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan jantung kakek itu berdebar. Mata yang hebat! Ia merasa betapa sinar mata itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya tergetar. Seperti mata iblis! Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang terasa hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun kakek ini mengerahkan sin-kangnya, akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang. Padahal ia telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat! Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki tenaga mujijat? Harus kucoba lagi.
Berpikir demikian, Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh Han Han menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar saja karena kakek itu telah menotoknya kembali, membebaskannya. Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas bahwa anak ini tidak mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang mengerti ilmu silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas penyerangan terhadap dirinya. Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu, tidak berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa akan serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya yang hebat!
Adapun Han Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh gurunya membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih kembali, menjadi heran dan penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya. Akan tetapi ia menganggap suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang dan seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang kedua pundaknya dengan cekalan erat, mata kakek itu menatapnya penuh selidik dan terdengarlah pertanyaannya dengan suara keras mendesak dan bengis.
“Han Han! Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam hypnotism)?”
“Apa? I-hun-to-hoat, suhu? Mendengar pun baru sekarang. Sudah teecu katakan bahwa teccu tidak pernah mempelajari ilmu apa-apa….”
“Hemmm, jangan mencoba untuk menyangkal. Habis, apa yang kaulakukan terhadap sucimu dan aku tadi kalau bukan Ilmu I-hun-to-hoat?” Ilmu I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu hypnotism, membetot semangat dan menguasai kemauan orang dengan penggunaan sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Han Han makin tak senang hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati dan pendapatnya sendiri dan sudah suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi mengapa suhunya ini sekarang menuduhnya yang bukan-bukan?
“Suhu, mengapa suhu menuduh yang bukan-bukan? Suhu mengambil murid teecu ini hendak diajar ilmu ataukah untuk dituduh-tuduh saja? Sudah teecu katakan bahwa teecu tidak pernah belajar silat.”
“Tapi…. tapi pandang matamu…. dan peristiwa tadi! Lian-ji menari-nari di luar kehendaknya, aku pun tertidur di luar kemauanku. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat kuat. Han Han, aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau benar-benar pernah menjadi murid orang sakti, aku pun malah makin suka kepadamu. Perlu apa kau membohong? Sudah ada buktinya peristiwa tadi, aku sendiri mengalami, dan pandang matamu juga penuh dengan tenaga mujijat yang hanya timbul dari sin-kang yang tinggi.”
Han Han menjadi tidak sabar. “Teecu tidak mengerti apa yang suhu katakan itu, tidak pernah mendengar apa itu I-hun-to-hoat, dan apa itu sin-kang! Pendeknya, teecu belum pernah belajar ilmu silat, bahkan sebelum menjadi murid suhu, teecu membenci ilmu silat. Malah sekarang, karena suhu tuduh yang bukan-bukan, timbul pula rasa tidak senang itu….”
“Han Han, jangan salah mengerti. Memang ada sesuatu yang amat aneh terjadi, dan kurasa, ada sesuatu yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu. Aku tidak menuduh sedikitpun juga dan kau pun harap suka berterus terang. Mungkinkah kau pernah membaca kitab kuno tentang ilmu menguasai semangat dan kemauan orang lain, dan telah mempelajarinya?”
“Tidak, sama sekali tidak.”
“Engkau anak aneh. Datang-datang kaubagi-bagikan roti kering kepada lain jembel. Hal ini saja sudah membuktikan keanehanmu. Dan cara kau bicara, sungguh tidak seperti seorang anak jembel.”
“Teecu bukan pengemis!”
“Kalau begitu engkau seorang anak keluarga bangsawan yang terlunta-lunta. Bukankah begitu?”
“Tidak, tidak! Teecu sudah katakan bahwa teecu tidak dapat menceritakan asal-usul dan riwayat teecu. Teecu sendiri hampir lupa. Mengapa suhu memancing-mancing? Apa artinya riwayat teecu? Pendeknya, teecu seorang yang tiada ayah bunda lagi, tiada saudara, sebatangkara. Suhu, teecu biarpun hidup melarat dan seorang bodoh, namun teecu berpegang kepada peribahasa It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (Sepatah kata dikeluarkan, empat ekor kuda pun tidak kuat menariknya kembali)!”
Lauw-pangcu tercengang. Ucapan muridnya ini jelas membuktikan bahwa bocah itu bukan bocah sembarangan, dan bukan hanya memiliki watak yang keras, memiliki pribadi yang aneh, tenaga sakti simpanan yang penuh rahasia, akan tetapi juga memiliki asal-usul yang menarik dan tentu bukan dari keluarga sembarangan. Ia menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir. Anak ini selain memiliki kekuatan mujijat, juga memiliki watak yang sukar diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya sehingga bagi dia yang menjadi gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah ini kelak. Diam-diam ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah yang telah dimiliki atau yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini.
Tentu saja Lauw-pangcu tidak dapat menduganya, tidak mengerti akan keadaan Han Han. Jangankan orang luar, sedangkan Han Han sendiri pun tidak mengerti, tidak sadar bahwa ada perubahan hebat pada dirinya, bahwa ada sesuatu yang secara ajaib terjadi di dalam dirinya. Ketika ia dihajar oleh perwira muka kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah “mengganggu” perwira muka kuning itu yang sedang memperkosa ibunya, ia dilempar dan kepalanya terbanting pada dinding kamar dengan keras sekali sehingga ia menjadi pingsan. Entah bagaimana hanya Tuhan yang mengatur dan mengetahuinya, bantingan kepala yang terjadi pada saat hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh perasaan duka, marah, sakit hati dan gelisah itu, bantingan keras yang menggetarkan otaknya, telah merubah dan mengguncangkan otaknya, merubah susunan syaraf dalam kepala. Tanpa ia sadari, timbullah semacam kekuatan mujijat di dalam kepalanya yang menyinar keluar dari matanya. Kekuatan mujijat ini terutama sekali timbul apabila hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah dan sakit hati. Kekuatan mujijat yang membuat pandang matanya kuat melebihi pandang mata seorang ahli sihir yang bagaimana pandai sekalipun, yang membuat daya ciptanya sedemikian kuatnya sehingga dalam keadaan seperti itu, mudah saja ia “merampas” dan menguasai semangat kemauan orang! Kalau ahli-ahli sihir memperoleh kekuatan mereka karena latihan dan ketekunan, adalah Han Han memperolehnya karena kekuasaan Thian yang tiada batasnya. Susunan otak dan syarafnya, seperti manusia-manusia lain, adalah sempurna sekali sehingga segala sesuatu dapat dipergunakan secara normal. Akan tetapi, hantaman kepalanya pada dinding itu menggoyahkan kesempurnaan itu sehingga cara kerja otak dan syarafnya menjadi terganggu. Justeru gangguan ini yang menimbulkan kekuatan hebat itu!
Namun Han Han sendiri tidak sadar akan hal ini. Karenanya ia tidak dapat menguasai kekuatan mujijat ini dan kekuatan ini hanya timbul kalau ia sedang marah seperti yang tadi timbul dan tanpa ia sadari sendiri telah membuat Sin Lian menari-nari seperti monyet dan Lauw-pangcu tertidur pulas di luar kehendaknya!
Lauw-pangcu menghela napas panjang. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman luas, ia telah dapat mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa kalau ia mendesak terus, hasilnya malah merugikan karena anak ini tentu akan kehilangan gairah belajar ilmu silat. Pada saat itu, Sin Lian berlari-lari keluar dari kamarnya dan berkata.
“Ayah…. Ayah…. aku mimpi aneh….”
Lauw-pangcu memandang puterinya lalu mengerling kepada Han Han yang menundukkan muka. “Mimpi apa?”
“Aku mimpi menjadi monyet dan menari-nari…. eh, sute masih di sini. Bagaimana, Ayah, apakah dia masih berkepala batu tidak mau menceritakan riwayatnya?”
Lauw-pangcu kembali melirik kepada Han Han mendengar ucapan puterinya itu, dan Han Han masih menunduk, hanya mukanya menjadi merah karena anak ini pun terkejut dan heran di dalam hatinya. Tadi dia telah memaki di dalam hatinya, memaki Sin Lian seperti monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun lalu menari-nari tanpa sadar. Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi monyet dan menari. Apa yang telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan bingung. Akan tetapi hatinya lega ketika mendengar gurunya berkata.
“Sutemu sama sekali tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau kurang ajar dan terlalu mendesaknya. Han Han adalah seorang keturunan keluarga Sie, dan karena dia sudah tiada ayah bunda lagi, memang tidak ada sesuatu yang perlu diceritakan.”
“Aihhhhh…., dia ini jaka lola (yatim piatu)….?” Suara Sin Lian mengandung penuh iba sehingga lunturlah semua kebencian di hati Han Han. Apalagi ketika ia memandang kepada “suci-nya” itu dan melihat pandang mata Sin Lian terhadapnya begitu lembut dan penuh kasihan, ia lalu tersenyum kepada Sin Lian. Dara cilik itu membalas senyumnya dan mulai detik itu terjalinlah rasa persahabatan antara mereka.
Mulailah Lauw-pangcu mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Han Han. Hatinya girang bukan main karena dugaannya sama sekali tidak meleset. Bocah ini memiliki ingatan yang amat luar biasa, seperti kertas putih bersih saja, sekali ditulis tidak akan luntur lagi. Mudah saja bocah ini menerima pelajaran kouw-koat (teori silat) dan mendengar terus mengerti dan ingat. Sebentar saja ia sudah dapat menghafal semua nama dan kedudukan bhesi (kuda-kuda). Juga ketika melatih kuda-kuda, sebentar saja ia sudah dapat menguasainya sungguhpun kuda-kudanya itu tentu saja hanya merupakan kulit yang belum ada isinya. Ketika Sin Lian disuruh mengujinya, sekali serampang dengan kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu rontok dan ia pun terguling! Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang belum pernah belajar silat. Mulai hari itu, Han Han disuruh berlatih memasang kuda-kuda dengan tekun dan Sin Lian yang menjadi sucinya selalu menemaninya dan mengawasinya dengan rajin pula. Dalam keadaan apapun juga, Han Han diharuskan memasang kuda-kuda dan dengan demikian, ia mulai memaksa otot-otot kakinya, dan melatih otot-otot kakinya itu agar menjadi seperti kaki ahli silat karena sepasang kaki merupakan pilar terpenting bagi seorang ahli silat. Makin kuat kuda-kudanya, makin sempurnalah ilmu silatnya, demikian pendapat para ahli silat.
Han Han merupakan seorang anak yang rajin dan tekun. Akan tetapi kerajinannya ini hanya ditujukan untuk membaca kitab karena memang sejak kecil ia sudah “berkecimpung” dalam lautan kitab-kitab dan huruf-huruf sastra. Kalau disuruh menghafal, sekali baca ia dapat mengingat seribu huruf di luar kepala. Kini, disuruh melatih bhesi, ia merasa tersiksa sekali. Menimba air pun harus dengan sepasang kaki memasang bhesi, di waktu berdiri, di waktu jongkok, bahkan di waktu ia berdiri memasak air dan membantu pekerjaan Sin Lian mengurus rumah, ia diharuskan oleh gurunya untuk memasang kuda-kuda. Dan semua ini selalu diawasi dan dikontrol secara keras oleh Sin Lian!
“Sute, memang membosankan belajar bhesi seperti ini. Akan tetapi karena bhesi amat penting, sute harus tekun. Aku sendiri semenjak pandai berjalan sudah disuruh belajar bhesi oleh Ayah!”
Han Han menarik napas panjang. Sudah hampir sebulan ia berlatih bhesi seperti ini. Bayangkan saja. Dalam sebulan itu ia selalu memasang bhesi! Hanya di waktu tidur nyenyak saja kakinya tidak dikakukan karena dalam tidur ia terlupa. Kedua kakinya terasa kaku sekali, bahkan kalau dilonjorkan menimbulkan rasa sakit-sakit lagi.
“Suci, apakah belajar silat begini tidak menjemukan? Jangan-jangan kalau sudah lulus, sekali berdiri memasang bhesi kedua kakiku lalu berakar di tanah dan tidak dapat dicabut lagi. Berapa lama aku harus melatih bhesi seperti ini?”
“Tergantung orangnya, sute. Akan tetapi menurut kata Ayah, engkau memiliki daya tahan dan bakat yang luar biasa sehingga dalam beberapa hari lagi tentu Ayah akan mengajar lebih lanjut.”
“Mengajar apa?”
“Ilmu silat tentunya. Ilmu pukulan.”
“Wah, aku tidak suka.”
“Mengapa?”
“Ilmu saja kok ilmu memukul orang! Untuk memukul, menyiksa dan membunuh orang digunakan ilmu yang dipelajari. Alangkah kejinya!”
“Sute, kau ini bocah aneh sekali. Ilmu silat bukan semata-mata memukul orang. Memukul hanya merupakan sebuah di antara gerakan silat, di samping gerakan mengelak, menangkis, menendang, menyiku dan lain-lain. Ilmu silat, menurut penjelasan Ayah, adalah ilmu tata gerak menjaga dari pada serangan lawan, juga ilmu kesehatan karena dengan latihan ilmu silat, jalan darah kita beredar dengan lancar dan betul mendatangkan kesehatan, selain itu, juga merupakan seni tari yang indah, dan terakhir merupakan latihan batin, meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati.”
Han Han mendengarkan dengan melongo. Mereka duduk mengaso setelah berlatih kuda-kuda itu di dalam taman liar yang dipelihara oleh Sin Lian, duduk di atas rumput yang tebal. Tak disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini dapat bicara seperti itu! Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan pandai memaki, galak, ganas, akan tetapi juga ramah sekali.
“Keteranganmu amat menarik,” katanya tersenyum, “dan engkau pandai membela kebaikan ilmu silat. Tentang yang pertama, aku percaya karena engkau pandai menjaga serangan lawan bahkan pandai menyerang. Juga bahwa ilmu silat adalah ilmu menyehatkan tubuh, boleh dipercaya melihat betapa engkau sehat dan kuat serta lincah sekali. Akan tetapi bahwa ilmu silat adalah ilmu yang mengandung seni tari indah, masih kusangsikan.”
“Masih sangsi? Kau lihat dan katakan apakah ini tidak indah,” kata Sin Lian yang sudah melompat bangun dan dara cilik ini mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya cepat, namun terutama sekali amat indah. Gerakan tangan kaki teratur rapi dan benar-benar membuat Han Han menahan napas. Ia melihat betapa gerakan-gerakan itu, biarpun agak terlalu cepat, namun tiada ubahnya seperti seorang dewi yang menari dengan indahnya, sama sekali tidak kelihatan sebagai ilmu untuk berkelahi. Betapa lemasnya kedua lengan dan tubuh itu!
“Bagus! Memang indah sekali, suci!” katanya memuji dengan sejujurnya.
Sin Lian berhenti bersilat, lalu duduk pula di dekat Han Han.
“Harus kuakui bahwa ilmu silat tadi seperti orang menari saja. Kini aku percaya bahwa dalam ilmu silat terkandung seni tari yang indah, sungguhpun aku masih sangsi apakah aku dapat belajar bersilat seindah yang kaumainkan itu. Tentang meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati, kurasa hal ini tidak karena ilmu silat, melainkan tergantung daripada sifat orangnya.”
“Ah, tidak bisa! Seorang guru yang baik seperti Ayah, di samping mengajarkan ilmu silat, juga menekankan aturan-aturan keras untuk membuat muridnya memiliki harga diri, menjadi pembela kebenaran dan keadilan, serta tidak sombong.”
“Kalau begitu aku suka belajar ilmu silat. Biar kuminta suhu mengajarku gerakan kaki tangan.”
Sin Lian menggeleng-geleng kepalanya yang bagus bentuknya. “Tidak begitu mudah, sute. Kuda-kudamu belum sempurna benar. Lebih baik kita berlatih lagi agar kuda-kudamu cepat sempurna. Setelah kuda-kudamu kuat benar, baru kau akan diberi pelajaran gerakan kaki tangan.”
“Berapa lama lagi kiranya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan?”
“Tergantung dari kemajuanmu, sute. Mungkin setahun baru diberi pelajaran pukulan.”
Jawaban ini membuat semangat Han Han menjadi lesu kembali. Disuruh belajar bhesi sampai setahun? Wah, berat sekali! Membosankan. Memang pada dasarnya ia kurang dapat melihat manfaatnya ilmu silat dan tadinya sama sekali tidak suka, kini setelah mulai tertarik ia terbentur pada kesukaran belajar kuda-kuda yang membosankan itu sampai setahun!
Sin Lian baru berusia sembilan tahun lebih, akan tetapi ternyata dia seorang bocah yang cerdik. Melihat wajah sutenya menjadi muram, ia cepat berkata.
“Sute, jangan memandang rendah kuda-kuda. Karena sesungguhnya pokok kekuatan ilmu silat terletak pada kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah, demikian kata Ayah, bhesi adalah tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan lain hanya bagian atasnya atau cabang-cabangnya berupa daun-daun jendela dan penghias-penghias lain. Apa artinya rumah itu tampak indah dan kuat kalau hanya tampaknya saja dan tiang-tiangnya tidak kuat? Tertiup angin keras sedikit saja akan roboh! Demikian pula orang pandai silat. Kalau hanya kelihatannya saja bagus dan kuat, namun tidak memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat, sekali bertemu lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang yang hanya ingin pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai. Akan tetapi kalau demikian halnya, engkau hanya akan menguasai seni tarinya saja tidak akan dapat menguasai inti sari ilmu silat.”
Kembali Han Han tertegun. Bocah perempuan ini pandai sekali berdebat, dan jalan pikirannya seperti orang dewasa saja. Agaknya memang Lauw-pangcu sudah menggemblengnya sejak kecil, bukan hanya digembleng ilmu silat, melainkan juga nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan.
“Baiklah, suci, aku akan tekun berlatih bhesi,” kata Han Han sambil menghela napas. Mulailah ia berlatih lagi, mengulangi berbagai kuda-kuda yang sukar-sukar, diawasi dan diberi petunjuk oleh sucinya yang lebih muda darinya itu. Sampai hari menjadi gelap barulah keduanya meninggalkan taman.
Tiga bulan kemudian Han Han masih belum dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping latihan bhesi, ia mulai dilatih mengatur napas dan bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno hal ini pun selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang hendak menguasai diri pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu, latihan siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya bedanya, kalau siulian untuk menguasai diri pribadi dan mengendalikan nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar mengendalikan pikiran dan menenteramkan hati serta menutup semua perasaan, adalah siulian yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan jalan darah, untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan hawa dalam tubuh sebagai kekuatan!
Lauw-pangcu kembali tertegun dan terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar murid barunya ini bersamadhi, dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat mematikan semua rasa dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat dicapai oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar samadhi! Ia hanya mengira bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat keras seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari keadaan yang “tidak wajar” dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya pada dinding dahulu.
Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melatih Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah ada terasa hawa di situ, anak itu mengangguk! Ia lalu menyuruh muridnya menggunakan kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perintah suhunya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya. Ia terbelalak. Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga tubuh bocah itu menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak itu normal kembali.
Setelah Han Han dan gurunya duduk mengaso tidak berlatih, gurunya berkata. “Dalam latihan siulian, kau cepat maju, Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa panas di pusar itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat mengendalikannya, hawa itu dapat kaudorong ke bagian tubuh yang manapun juga, merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau sembrono dan keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya secara perlahan kaulatih dan kuasai hawa itu, mendorongnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit maju, sampai dapat kauperintah dia maju ke pundak, kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan latihan samadhi dan pernapasan yang benar seperti yang kuajarkan kepadamu. Kau sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang tekun.”
Demikianlah, hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan latihannya, yakni memperkuat kuda-kuda dan latihan samadhi. Sebetulnya ia sudah tidak kerasan sama sekali tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa tidak bebas lagi, tidak seperti ketika ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia terikat oleh kewajiban-kewajiban berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Sin Lian. Ia tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur, mau jalan tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis semaunya kalau ia kehendaki. Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar dan palsu. Ia tidak suka berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mengkal, ia seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri tersenyum! Benar-benar hidup tersiksa baginya. Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng (kakak seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya, membuat ia makin tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk golongan pengemis! Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu silat di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali menegurnya. Han Han sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar dia memiliki watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak pengecut, ia tidak pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian ia tidak pernah menceritakan perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya karena para anggauta kai-pang yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han Han dan gangguan-gangguan mereka makin berkurang.
Sudah lima bulan Han Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi, datanglah serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggauta Pek-lian Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian para anggauta Pek-lian Kai-pang, biarpun bertotol-totol berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang datang ini pakaiannya serba hitam! Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka dipimpin seorang pengemis tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya satu, yaitu yang kanan karena mata kirinya buta.
Han Han yang sedang berlatih bersama Sin Lian, segera berlari-lari menghampiri bersama gadis cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik, “Ah, mereka adalah orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari keributan!”
Han Han menjadi berdebar tegang hatinya. Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara para pengemis? Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar! Ia dan Sin Lian menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri telah menyambut datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para anggauta Pek-lian Kai-pang bersikap keren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar