Kamis, 06 November 2008

Pendekar super sakti seri-3

Han Han tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi rotinya,” ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut kawan baru itu.

Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?”

 “Hah? Kalau perlu tentu saja boleh.”

“Bagus! Engkau benar-henar anak jempol! Mari ikut aku!” Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota. Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan.


“Mana teman-teman yang lain? Ada rejeki datang!” Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri.
“Pergi mengemis ke pasar,” jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul. “Katanya ada pembesar meninjau pasar.”

“Huh, bodoh! Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para pengawal yang galak,” kata Sin Kiat mengomel.

“Itulah sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku benci melihat pembesar….”

Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut. “Hmmm…., anak-anak, hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?”

Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya, pertama-tama ia memberi kepada kakek itu.

“Lopek, silakan makan roti kering seadanya.”

Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja! Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan gembira.

Han Han lalu menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung keluarganya.

Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara mendesak, “Kek, kauajarlah aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira!”

Kakek itu membuka matanya, menjawab malas. “Aku tidak bisa silat….”
“Bohong….! Kakek bohong….!” Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak.
Akan tetapi kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis.

“Kemarin dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajar kami ilmu silat. Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang sekalipun takkan menjadi habis!”

Han Han kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera berkata.

“Aku tidak suka belajar silat!”

“Hehhh??” Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa. Sin Kiat memegang lengannya dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?”

“Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan!” kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis kerempeng.

“Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita minta!” kata bocah pengemis yang lain.
“Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,” kata pula Sin Kiat.

Han Han menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita ketiga orang anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si lemah! Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak! Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya.”

Kakek yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho! Omongan tekebur dan menyeleweng jauh, bocah! Omongan sombong! Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya! Ilmu silat telap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih tajam daripada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha!”

Han Han tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek jembel itu. Teringat ia akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung daripada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek jembel. Melihat betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi.

“Hayolah, Kek, ajar kami ilmu silat.”
“Aku tidak bisa ilmu silat.”

“Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat mereka roboh,” bantah Sin Kiat.

“Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).”
“Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat!” kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang kawannya.

Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali. Han Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah mengikuti kakek itu!

“Heiiiii….! Ehhh….?” Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah berakar di pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak terlawan olehnya, membuat ia terseret terus!
Han Han adalah seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biarpun ia seorang anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia sudah banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan pandai membuat sajak-sajak indah, juga terdapat orang-orang dari golongan “bu” (persilatan) yang disebut pendekar-pendekar sakti. Maka tahulah ia bahwa kakek jembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa takut, maka ia lalu berkata, “Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku pergi, harap lepaskan tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor anjing.”

Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau terseret. Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan Sin Kiat yang mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih tertinggal, kini tidak terdengar lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari kota dan terus menuju ke tepi Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai, kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan, jadi ke arah utara.

Mereka berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati dan pada saat itu di samping keinginan tahunya juga merasa penasaran dan mengkal, merasa dirinya dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa pula. Ia berjalan terus di belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang melangkah lebar dan cepat membuat ia sering kali harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah sekali. Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi dengan kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya membawanya masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho.

Di tepi sungai dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan, pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas, bahkan dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh dari tempat ini, agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya. Baru setelah mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di depan pintu, tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan lingkaran-lingkaran aneh adalah bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih). Han Han berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan ketuanya yang sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah pangcunya?

Kakek itu memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak orang-orang berpakaian pengemis berkeliaran di sekitar tempat itu. Di tengah-tengah terdapat bangunan pondok berbentuk kelenteng dan dari situ mengepul asap hio yang wangi.

Para jembel itu melihat masuknya kakek bersama Han Hang namun mereka hanya melirik saja dan tak seorang pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke ruangan depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari belakang dan berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba duduk bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja sembahyang yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara sembahyang yang aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas, ditekuk ke belakang sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti Han Han. Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah keluar lagi, memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya.

Han Han ikut terus dan ternyata mereka menuju ke sungai di mana terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan airnya dari sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air sungai, maka air di situ tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas benda berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat daripada kayu, mengambang dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam. Yang membuat Han Han tercengang adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih, berloncatan dari satu ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang yang berlatih, sementara itu masih ada tiga puluh orang lebih menonton di pinggir kolam. Mereka semua itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki daripada wanitanya yang hanya ada beberapa orang.

Han Han tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga orang itu berloncatan ke atas teratai-teratai kayu yang mengambang di air, melihat gerakan mereka yang begitu ringan dan gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah tiga orang itu meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang belum mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya miring membuat ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya, ada yang mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya sehingga ia terjatuh. Ketika kakek yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi tak seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap berlatih, namun kini lebih tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu berkata.

“Latihan gin-kang ini bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil Sin Lian!”

Han Han melihat betapa semua pengemis yang berada di situ amat menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya kakek inilah ketua mereka! Akan tetapi mengapa mereka itu seperti acuh tak acuh atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang memberi hormat? Sungguh mengherankan.
Sementara itu, seorang pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek ini, datang bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh sudah memanggil.

“Ayah….!” Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang kakek itu. Si kakek mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.

Kembali Han Han tercengang. Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan tetapi anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun! Juga keadaan anak itu amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih, wajahnya berseri-seri matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para jembel itu benar-benar merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan gagak!

“Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau tidak ikut latihan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dengan para Pamanmu?” Suara dalam pertanyaan ini halus dan penuh kasih sayang, namun mengandung teguran.

“Aku pergi ke hutan, Ayah. Bunga mawar sedang bersemi, indah sekali.”
“Hemmm, ada waktunya berlatih, ada pula waktunya bersenang. Jangan campur aduk. Coba kauperlihatkan latihanmu!”

Anak perempuan itu tertawa dengan sikap manja, lalu melepaskan ayahnya dan menghampiri tepi kolam. Yang berlatih telah mendarat. Mereka semua kelihatan gembira, memandang ke arah gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa mereka semua menyayang anak yang bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak ada lagi yang berlatih, memberi kesempatan kepada anak itu untuk berlatih seorang diri sehingga tidak mengganggu.

“Heiiittttt….!” Anak itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring. Tubuhnya lalu meloncat ke tengah kolam, melambung agak tinggi kemudian di udara ia berjungkir-balik sampai dua kali, baru tubuhnya turun dan kakinya hinggap di atas sebuah teratai kayu. Indah bukan main loncatan tadi dan terdengar seruan-seruan, “Bagus….!”

Han Han melongo. Apa yang disaksikannya itu terlalu aneh dan indah. Kagum ia melihat betapa anak perempuan itu kini berdiri di atas teratai kayu yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh anak itu sedikit pun tidak bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya, “Heeiiittitt!” dan tubuhnya sudah mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di atas teratai kayu yang lainnya. Demikianlah, bagaikan seekor katak, anak itu berloncatan dari satu teratai ke lain teratai, makin lama makin cepat sehingga seakan-akan ia terbang di permukaan air. Hanya benda-benda berbentuk teratai itu saja yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Seruan-seruan menjerit nyaring itu terdengar susul-menyusul dan akhirnya tubuh anak itu mumbul ke atas dan berjungkir-balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali dan ketika turun ia melayang ke dekat kakek tadi.

Tepuk tangan memuji dari para penonton membuat wajah anak perempuan itu makin berseri. Wajahnya menjadi merah karena tadi dia telah mengerahkan banyak tenaga, dan napasnya terengah-engah. Kakek yang menjadi ayahnya mengangkat muka dan terhentilah semua tepuk tangan.

“Masih jauh daripada sempurna, Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras. Lihat baik-baik, juga kalian semua!” Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali. Tidak lebih indah daripada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya, teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali tidak bergoyang, seolah-olah hanya kejatuhan sehelai daun kering saja! Kemudian kakek itu mendarat kembali dan berkata.

“Untuk dapat menginjak teratai kayu tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan tekun. Apalagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai aseli, membutuhkan bakat dan latihan yang amat mendalam.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke arah Han Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana di sebelah kiri pondok kelenteng. Juga pondok sederhana ini dihias dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai putih.

“Bocah ini siapakah, Ayah?” Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka duduk di atas bangku.

“Namanya Han Han. Siapakah she-mu (nama keturunan), Han Han?”

“Aku she Sie bernama Han, biasa disebut Han Han,” jawab anak itu. “Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua dari Pek-lian Kai-pang?”

Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang? Dari mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?”

Han Han teringat bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca. Memang tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia ini pandai membaca.

Maka cepat-cepat ia berkata, “Aku hanya mengira-ngira saja, locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng, tentu merupakan sebuah kai-pang. Adapun tentang namanya, di sini kulihat banyak sekali hiasan-hiasan berupa teratai putih, maka tentu saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini tentulah Pek-lian Kai-pang.”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah calon muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan kelak untuk….”

“Aku tidak ingin menjadi murid locianpwe!” Han Han memotong cepat-cepat dengan suara nyaring.
“Wah, bocah sombong engkau!” Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh wilayah Sungai Huang-ho! Apakah engkau lebih suka menjadi jembel busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?”

Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina sekali. “Aku bukan pengemis! Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis! Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang!”

“Lagaknya! Engkau pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis!”
“Bukan!”
“Pengemis! Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan pengemis, apakah kau ini Pangeran?”
“Bukan! Aku bukan pengemis, biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis! Tidak seperti engkau, biar pakaianmu baik tapi….”
“Kau kurang ajar! Beranikah kau kepadaku?”
“Mengapa tidak berani? Kalau aku benar, biar terhadap kaisar sekalipun aku berani!”
“Phuhhh! Kalau berani hayo kita berkelahi!”
“Aku bukan tukang berkelahi, bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu.”
“Hayo pukul aku kalau berani!”
“Aku bukan tukang pukul!”
“Kalau kupukul, kau berani membalas?”
“Tentu saja!”

“Plakkk….!” Pipi Han Han sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han terpelanting dari bangkunya. Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi Han Han sudah membaca kitab tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu kalau harus bergelut dengan seorang anak perempuan.

Tidak ada komentar: