“Tidak sakit!” katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah.
“Balaslah!”
“Membalas anak perempuan? Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa sama sekali.”
“Sombong kau!” Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya cepat bukan main. “Dukkk…. plenggggg….!”
Han Han terjengkang roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya pening oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya bocah itu menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia marah dan kini ia melompat bangun.
“Kau…. perempuan keji!” katanya lalu ia menerjang maju, hendak menampar. Namun tamparannya mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan kiri gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan terasa amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun terlatih menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han terhuyung-huyung ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting, terbanting pada lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang puyeng seketika.
“Cukup, Lian-ji.” Terdengar kakek itu berkata, suaranya tenang dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat puterinya menghajar Han Han, karena memang hal ini ia sengaja, untuk “membakar” hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia menduga bahwa setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan sadar betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han, disuruhnya duduk lagi di bangku. Han Han masih pening, ketika ia memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis namun menggemaskan hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga kelihatan dua! Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang, baru ia membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran
“Nah, bagaimana pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak mungkin kau akan mudah dihajar orang lain begitu saja.”
Akan tetapi jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini mengangkat muka dan dadanya, lalu berkata, “Aku tetap tidak mau belajar berkelahi! Apa sih gagahnya mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut gagah perkasa!” Dalam kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan ujar-ujar dari kitab.
Kembali kakek itu tercengang. “Aihhh! Dari mana kamu mengetahui filsafat itu?”
“Filsafat apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan memukul orang paling-paling bisa disebut sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan menjadi tukang pukul!”
“Dan mengalahkan diri sendiri? Apa yang kaumaksudkan?” Kakek itu memancing.
Han Han cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia berkata, “Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang, tidak merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan hina biarpun perut lapar, mengalahkan diri sendiri.” Dengan ucapan ini ia telah menyindir orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan mengemis yang dianggapnya hina.
“Bocah bermulut lancang! Ayah, biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus!”
Lauw-pangcu menggeleng kepala. “Biarkan dia pergi.”
Han Han memang telah berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke timur, akan tetapi ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota Tiong-kwan karena takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan menimbulkan hal-hal yang amat tidak enak. Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas, kepalanya masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan diam-diam ia mengomel.
“Bocah perempuan yang keji dan galak!”
Han Han berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah malam tiba, ia mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar dengan telur-telur burung yang ia temukan di jalan. Juga ada beberapa macam buah-buah yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di pinggir hutan.
Pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun. Uang bekal dan makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu sekedar dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di dusun, para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang membutuhkan tenaga pula. Asal rajin, tak mungkin orang sampai kelaparan, asal mau bekerja. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin makan enak tanpa bekerja, biarpun hanya makanan sisa. Menjijikkan! Alangkah hinanya! Tentu saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran ilmu memukul orang!
Apalagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang ganas itu. Ia bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa wajah bocah itu manis sekali.
Ketika Han Han berjalan sambil termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang. Seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan, menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari dusun. Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang sudah berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa orang dusun melihat hal ini berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk mengeluarkan seruan keras.
“Bocah sombong, apakah kau sudah gila?” Han Han berteriak marah sambil merangkak bangun.
Kuda itu dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak tertawa lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah kudanya tiba di depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya tangkas sekali, lalu menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya.
“Jembel busuk! Berani engkau memaki aku?”
“Setan kepala angin! Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan perbuatannya. Biar kau kaisar sekatipun, kalau perbuatannya tidak benar, tentu akan dimaki orang!” Han Han membantah berani.
Anak itu usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak jembel, menjadi terheran-heran sehingga lupa kemarahannya. “Engkau siapakah berani berkata seperti itu?”
“Aku Han Han dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?”
“Wah-wah, agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel macam kamu! Hayo bertutut dan mohon ampun!” Bentakan ini mengandung suara marah.
Seorang di antara para penduduk dusun yang mulai datang berkerumun, segera mendekati Han Han dan berkata, “Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon ampun kepada Kongcu.”
Mendengar ini, Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata, “Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah sekalipun tidak perlu minta ampun dan harus berani menerima hukumannya! Apalagi orang tidak bersalah!”
Ucapan ini rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali dan mengherankan semua orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan berkurang kemarahannya, lalu mengomel.
“Tidak salah katamu? Kau berdiri di jalan, menghalang kudaku!”
“Bukan aku yang menghalang, tapi kau yang menabrak! Berani berbuat tidak berani mengaku, laki-laki macam apa kau?”
“Berani kau? Apa sudah bosan hidup?” bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han telah kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang, napasnya sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi hitam bagi Han Han.
“Jembel busuk bosan hidup! Kau belum mengenal kelihaian Kongcumu, ya?” Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar sayup-sayup oleh Han Han dan pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai tambang dari saku sela kudanya. Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian ia memegangi ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya. Ketika kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah!
Orang-orang yang berada di situ hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak ada seorang pun berani membela Han Han. Mereka hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala dengan hati kasihan kepada anak jembel yang amat pemberani itu.
Han Han memiliki kenekatan dan nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki daya tahan mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan ingin mengambilnya sebagai murid. Biarpun ia tadi telah dipukul hebat dan kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak merasa takut. Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya lecet-lecet, pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia yang terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan telunjuknya ke depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki.“Bocah kejam melebihi iblis! Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah kecelakaan!”
Pada saat itu, dari arah kanan berkelebat sinar putih. Ternyata itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal tambang yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han Han terbebas, tidak terseret lagi. Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han memandang dengan mata terbelalak ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan lain adalah…. Sin Lian! Han Han mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak laki-laki kejam oleh seorang anak wanita ganas! Kedua orang anak itu setali tiga uang, sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih!
Sin Lian sudah meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan piauwnya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki.
“Setan alas kau! Monyet pengecut kau! Beraninya hanya menyiksa bocah jembel yang tidak bisa silat! Hayo lawan aku kalau berani, kalau minta remuk tulang-tulangmu!” Sin Lian memasang kuda-kuda menantang.
Ouwyang-kongcu ini adalah putera seorang bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia putera pangeran, tentu saja selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa menerima penghormatan di mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia sedang menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sakti. Sebagai putera pangeran, tentu saja dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan untuk kebutuhannya setiap hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya. Dan ia pun belajar sambil main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke dusun-dusun dan ke manapun juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguhpun di dalam hati mereka ini membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini, dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun dari atas kudanya.
“Eh, kau bocah dusun! Berani kau memaki Kongcumu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya!” Sambil berkata demikian, Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya, yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang. Serangannya hebat, cepat dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat dan mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia belajar kurang tekun, namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biarpun anak itu pandai silat sekalipun.
Sebaliknya, melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena telah berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng menjadi penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi kesempatan membalas serangan-serangannya, karena tambang itu menyerang terus-menerus, membuat ia harus menggunakan gin-kang dan berloncatan ke sana ke mari.
“Monyet cilik! Monyet curang! Jangan pakai tambang kalau berani!” Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama sekali, bahkan pahanya telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan panas.
Ouwyang Seng tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki kegesitan luar biasa, anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan berat baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu dan berkata, “Majulah kalau ingin merasakan kaki dan tangan yang sakti!”
Melihat pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan cepat ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit. Namun dengan mudah Ouwyang Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat Sin Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba lututnya kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh terguling.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela, “Laki-laki apa, menerjang perempuan!” Kedua lengannya merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang!
Ouwyang Seng terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak pandai silat, Han Han pada dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan rangkulan lengan dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan menempel pada daging gemuk.
“Lepaskan….! Lepaskan, kau jembel busuk…. lepaskan….!” Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya, bahkan menggunakan tangannya untuk mencekik leher!
Penduduk dusun yang menghampiri dan menonton perkelahian ini, tidak berani mencampuri, hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani melawan Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis cilik berani menghinanya, memakinya, dan melawannya.
Ouwyang Seng yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han bersama-sama. Mereka bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han Han tidak mau melepaskan kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu menangkap tangan Han Han dan menekuk jari telunjuknya.
Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai terasa menusuk di ulu hatinya. Han Han marah lalu…. menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat tenaga.
“Ouwwuw…. aduh…. aduh…. mati aku, aduhhh….!” Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan akhirnya ia menangis berkaok-kaok, melolong-lolong sambil meronta-ronta.
Penduduk dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han melepaskan rangkulannya, kempitannya dan gigitannya.
“Hi-hi-hik! Pengecut besar! Bisanya hanya menangis! Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han….!” Sin Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang tertendang itu membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas sambungannya. Juga Han Han merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali, seperti patah sambungannya pula.
Ouwyang Seng tadi menangis bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah bebas, ia menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan keras. Han Han terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini, Ouwyang Seng segera melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya. Biarpun tak dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba untuk menangkis dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling.
Ouwyang Seng menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar kepalanya dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi, kemudian dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini kena, tentu kepala Han Han akan remuk.
Akan tetapi tiba-tiba batu itu tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu terampas dan dibuang ke pinggir. “Anak keji, pergilah!” Lauw-pangcu berkata dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh anak itu melayang dan…. jatuh tepat di atas punggung kudanya.
Ouwyang Seng maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar seorang anak yang manja, ia malah memaki, “Tua bangka jembel busuk! Kalau berani, katakan siapa namamu!”
Lauw-pangcu hanya mengira bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka sambil tersenyum ia berkatap “Bocah, aku adalah orang she Lauw.”
Ouwyang Seng menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu yang segera meloncat maju dan membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh kakek itu, dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan tentang budi, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
“Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe.”
Lauw-pangcu tersenyum. “Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han Han.” Ia lalu memondong tubuh puterinya dan Han Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak mengenal budi.
Setelah tiba di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin Lian dan telunjuk tangan Han Han. Hebat sekali cara kakek ini membenarkan sambungan tulang karena setelah diurut sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja telah sembuh kembali.
“Pengalamanmu hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa pentingnya mempelajari ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu, bukan hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku melihat bakat yang amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di antara sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua ilmuku, Han Han.”
“Akan tetapi, locianpwe, aku tidak ingin belajar silat.”
“Coba sajalah. Dan pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah mengenal seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka sekali. Sementara ini, biarlah engkau akan menerima menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung untuk membalas budi kepadaku. Bagaimana?”
Kakek itu memang cerdik. Ia telah mengenal bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa, memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal budi. Karena itu, ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak. Anak ini sudah mempelajari kitab tentang budi pekerti sampai mendarah daging, di mana diajarkan bahwa setiap budi yang dilepas orang harus dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi sendiri yang dicurahkan kepada orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan segera dilupakan.
“Baik, locianpwe.”
“Bagus, Han Han. Sekarang engkau telah menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu (Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih muda darimu.”
“Baik, suhu, teecu (murid) mengerti.”
Makin kagum hati kakek itu dan timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan orang biasa ketika mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu, kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan paikwi (menyembah) sampai delapan kali.
Ia mengangkat bangun muridnya itu dan berkata, “Han Han, muridku yang baik. Sebagai seorang murid, pertama-tama engkau harus mengerti apa yang menjadi kewajiban utama seorang murid?”
“Teecu mengerti. Harus taat dan berdisiplin. Taat terhadap segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam memegang tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap guru.”
Kalau tadi Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran dan tercengang.
“Sin Lian, dengar baik-baik omongan sutemu (Adik Seperguruan) ini! Engkau dapat belajar banyak dari dia! Han Han, pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama dari suhumu, kauceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu dan bagaimana engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup seorang diri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar