Jumat, 07 November 2008

Pendekar super sakti seri-13

“Budak hina, engkau sudah bosan hidup!” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih.

“Kongcu….!” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu.


Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh.

“Plakkk….! aughhh….!” Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu!

“Jangan….!” Han Han cepat meloncat dekat dan mendorongkan kedua tangannya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu.

“Desssss….!”

“Aiiihhhhh….!” Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ.

“Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?”

Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara “bak-buk-bak-buk” ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han!

“Pengecut….!” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun.

Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darahnya sehingga pengaruh totokan itu buyar.

“Budak hina, kacung busuk! Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus!” Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam.

 “Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing!” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya.

Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhunya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas! Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak!

Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andaikata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang!

“Hi-yeh-heh-heh-heh-heh!” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju!

“Darrr….!”

Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar! Dan tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah.

“Hi-yeh-heh-heh….! Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk….!” Si Muka Kuda tertawa mengejek.

Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan.

“Siangkoan Lee, kausambutlah ini….!”

Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya. Biarpun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin.

Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula. Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan! Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya.

“Suhu…. suhu…. tolong….!”

Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata.

“Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk! Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kauperdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya!”

Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu! Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.”

Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali!”

Pada saat itu, Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang.

“Saya tidak mau kembali! Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam!”

Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus!” Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus! Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemauannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu.

“Desssss….!” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan! Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia….!”

Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja! Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia!

“Bocah setan, pencuri busuk! Mampuslah!” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han.

 “Desssss….!” Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata.

“Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku!”

“Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah.

Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.”

Gak Liat makin marah. “Mengapa?”

“Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kaukira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kaukira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?”

“Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku!”

“Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san!”

“Ahhh! Engkau tidak tahu siapa dia! Hemmm, dia telah mencuri ilmuku….”

“Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.”
Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apalagi mengingat kakek anak itu! Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah. “Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya.

“Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas!” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu. Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah.

“Nanti saja kuceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.”

Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu.

Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-hin Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalahgunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat. Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mujijat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.

Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah.

In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata.

“Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid suhu.”

Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda. “Aku…. aku tidak mau menjadi murid di sini! Aku tidak mau belajar silat!”

“Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti! Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.”

Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang! Aku benci ilmu silat! Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.”

“Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun.

Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah! Engkau….!”

Di luar kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya…. aku…., akulah yang pengecut….”

“Heiii, sute! Mengapa kau ini….?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu. Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi….? Ahhh…. apakah aku mimpi….?”

“Ehhh…. tak mungkin….!”

Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan “kosong”, maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya.

“Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus! Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu!”

Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi.

Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata.

“Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.”
“Heh-heh-hiyeeehhhhh….! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han!”

Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali. Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya! Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat.

Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.

“Nah, berceritalah, muridku.”

“Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)!” kata Kim Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri!”

“Benar! Benar sekali!” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka.

Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.

“Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh orang-orang Mancu yang kejam….”

“Aaahhh, aku juga, begitu….!”
“Orang tuaku juga!”
“Keluargaku juga terbunuh orang Mancu….!”

Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh orang-orang Mancu! Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.

“Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.”

“Kaumaksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.

“Benar, suhu.”

“Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?”

“Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.”

“Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.”
Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.

“Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.”

“Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini….”

“Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?”

“Sama sekali tidak, suhu.”

“Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?”

“Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa….”

“Perlihatkan lenganmu!”

Tidak ada komentar: