Senin, 10 November 2008

Pendekar super sakti seri 17

Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.

“Tenanglah, Yan Hwa…. tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku….”

“Oughhh…. suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih….? “Aku…. aku…. selamanya cinta kepadamu, suheng….”

“Hushhh…. ada orang datang, diamlah….”

“Aughhh…. ahhh, panas rasa kerongkonganku….,  aduh, Kanda, minum…. minum….”

Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.

“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum….!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit den cepat pergi mencari air.

“Han-ko…. tunggu….!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.

“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka….” kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng tangan adiknya. Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.

“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han. Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.

“Oohhh, mana air….?” Nenek itu mengeluh. Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang, dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.

“Engkau siapa?”

Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.

“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.

Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.

“Eh….! Matamu….!”

“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.

“Seperti….”

“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh…. dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu…. akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih…. eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”

“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwo baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.

Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko…. siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana…. mana dia…. Jai-hwa-sian?”

“Sabar, Moi-moi…. Jai-hwa-sian belum juga datang…. ahhh, sayang sekali…. kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul….”

Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.

“Locianpwe mencari Kong-kongku?”

Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?”

“Jai-hwa-sian….!”

“Hehhh….?”

“Ihhhhh….?”

Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.

 “Heh, anak setan, siapa nama Kong-kongmu?”

“Namanya Sie Hoat.”

Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek itu yang masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.

“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”

“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”

“Setan Botak? Kaumaksudkan Setan Botak si….?”

“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main.

Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!

“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.

Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun pergi merantau, menurut dongeng Ayah….”

“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”
“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi….”

“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.

“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”

“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”

“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”

“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu….”
“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma….! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi….”

“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main. Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapapun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertewakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri…. seperti juga kami berdua…., kami berdua mungkin lebih sesat daripada engkau, maka buahnya pun lebih pahit…. aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!

“Kakek…. kenapa menggali hal-hal lampau….? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit…. engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut…. kita mati dalam cinta…. alangkah bahagianya….” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!

Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.

“Moi-moi…. anak ini cucunya…. kita berikan saja kepadanya, ya?”
“Terserah, Koko…. terserah kepadamu. Lekas berikan…. aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu, Koko….”

Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.

“Dengar, anak yang bernama Sie Han…. dengarlah baik-baik, berlututlah….”
Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.

Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kauterimalah ini…. kausimpan baik-baik dalam bajumu! Lekas…. jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan….”
Han Han tidak diberi kesempatan membantah dan seperti ada sesuatu yamg menggerakkan hatinya anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya.

“Dekatkan telingamu….”

Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun….”

“Sudah mengertikah engkau?”

Han Hen mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”

Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”

Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.

“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami….”

“Juga Koai-lojin tidak mampu….?”

Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.

“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”

“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami….”

“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.

“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa….”

“Iihhh…., kejam….!” seru Lulu.

“Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya…. engkau lihat sendiri akibatnya….” Kakek itu mulai lemah suaranya.

Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko…. dan aku…. aku girang sekali…. aku bahagia….”

Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han…. Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami…. kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu…. engkau…. engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau….”

Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).”

Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan…. mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.

“Suhu….! Subo….!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.

“Me…. mereka…. sudah mati…. oohhh….!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.

“Aku harus mengubur mereka….”

“Hayo kita pergi. Han-ko…., aku takut sekali….”

“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulan sebentar.”

“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”

Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.

“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.

Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”

Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.

“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini….” kata Han Han. Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.

Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu!

Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.

“Aduh…. aduh…. perlahan-lahan, Koko…. kakiku sakit….!”

Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong….”

Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki. Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.

Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat. Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya…. ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?

Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian. Akan tetapi, dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”

Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja! Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah! Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.

“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.

Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.

“Kasihan….” bisiknya penuh kasih sayang. Aku harus mencarikan makanan untuknya. Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han. Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!

Tidak ada komentar: