Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda‑kuda yang pernah dilatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”
“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”
Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh, seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya.
“Suhu, bocah jembel ini adalah murid Lauw-pangcu! Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek jembel itu.”
Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha! Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kaubawakan buntalan ini!”
Memang aneh kalau seorang guru menyebut “kongcu” atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini.
Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar! Hei, bocah murid Lauw-pangcu! Siapa namamu?”
Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak.
“Namaku Han Han, dan biarpun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku!”
“Ha-ha-ha-ha! Kongcu, bocah ini hebat! Lihat matanya…. aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia! Boleh dijadikan pelayan.”
Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan! Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti daripada setan sendiri! Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi “pelindung” Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya! Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah.
Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik. Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena “gengsi” pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu. Akan tetapi karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi “hajaran” kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang!
Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh! Han Han! Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhuku ini sampai di tempat yang kautunjukkan! Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?”
Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya “berani atau tidak”, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah.
“Tentu saia berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagaimana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam engkau!”
“Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.”
“Boleh!” Han Han menjawab.
Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan.
“Siap?” tanya Ouwyang Seng.
“Siap!” jawab Han Han.
“Mulai!” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong. Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya.“Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang daripada Han Han.
Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah, karena dia belum keluar dari garis lingkaran! Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran.
“Kau kepala batu!” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat. Akan tetapi, daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran?
“Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa….!” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran! Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenagat mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh!
Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran, setelah putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhunya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu!”
Han Han amat cerdik. Biarpun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apalagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali.
“Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi!” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng! Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat!”
Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya!
Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main!”
Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel.
“Kenapa….? Kenapa aku berlutut….?”
“Ajaib…. ajaib….!” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel dan tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda, dengan kakek botak itu yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget.
“Ajaib…. bocah ajaib…. matamu ini…. ah, luar biasa!” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak! Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sin-kang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak.
Adapun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja “diperintah” oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan.
“Tar-tar-tar!” Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Jembel Tua!”
Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng….!”
“Keparat! Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Jembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?”
“Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.”
“Setan pengemis! Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han.
“Tar-tar….!” Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk, melepaskan bungkusan itu yang jatuh ke atas tanah, berdebuk.
Biarpun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apalagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak. Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal! Demikian ia berpikir.
Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya.
“Han Han….!” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sutenya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda, dengan sikap tenang sekali.
Semua anggauta kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguhpun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati.
Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mujijat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok.
Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggauta Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas.
“Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya karena tidak tahu lebih dahulu, kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Mendengar ucapan itu, para anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya.
“Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?”
“Benar,” jawab Han Han.
Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kauhadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha!”
Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apalagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhunya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhunya! Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya dan membuka tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggauta Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu! Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus!
“Aihhh….!” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak.
Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam! Engkau kembali membawa malapetaka! Baiklah sebelum semua mati, engicau akan mampus di tanganku lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andaikata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekalipun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada serangan maut ini. Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagaimana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu.
Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekalipun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri! Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apalagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh! Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi.
Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip.
“Ayahhhhh….!” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sutenya, maka tanpa ia sadari ia menjerit.
Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan yang sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling! Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus.
“Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?”
Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagaimana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping? Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia! Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar! Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini?
Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggauta Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu “terangkat” oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu! Mulutnya menyeringai dan kumisnya yahS panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup.
“Orang she Lauw! Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kaubunuh dia begitu saja? Pula, kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan pemberontak rendah! Nah, kauserahkanlah kepalamu dan kepala semua anggauta-anggautamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.”
Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggauta pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka tetdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biarpun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan.
Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian.
“Suci, mari hajar bocah setan ini!” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki.
“Engkau murid murtad!”
Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek. Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga.
Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apalagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar